Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (as-Syura : 30)
“Kesedihan di negeri ini seolah tiada henti”, demikian sepotong perkataan teman saya ketika melihat kejadian kegiatan evakuasi korban situ Gintung di televisi. Memang benar, beberapa tahun terakhir negeri kita kerap kali ditimpa ragam musibah. Mulai badai tsunami, gempa bumi, gunung meletus, luapan lumpur, longsor dan banjir. Hampir setiap tahun ada saja musibah yang menimpa negeri ini.
Ungkapan tersebut manusiawi diungkapkan oleh tiap orang. Terutama apabila didasarkan pada fakta yang ditemui. Kesedihan, kegalauan, kekesalan, dan kemarahan kerap jadi ekspresi orang yang menyaksikan dan mengalami musibah (bencana). Namun, banyak juga korban bencana yang menyadari bahwa musibah yang menimpa mereka merupakan suatu hal yang berada di luar kendali manusia. Sehingga mereka pasrah dan menerima musibah tersebut sebagai sebuah suratan takdir (baca: ketentuan Allah SWT).
Di luar sikap penerimaan yang mewujud dalam kesabaran dan ketabahan, kita juga mesti memperhatikan musibah tersebut secara lebih teliti. Diantaranya adalah menyingkap apa yang melatarbelakangi musibah. Hal itu penting untuk dipelajari sebagai pengalaman dan pelajaran (‘ibrah) untuk masa yang akan datang. Karena musibah tidak semata-mata menimpa perorangan atau kelompok tanpa sebab dan akibat yang jelas. Penelitian dan pengamatan terhadap sebab dan akibat musibah adalah sebuah kegiatan ibadah tafakur terhadap kekuasaan Allah SWT yang sangat baik dilakukan.
Pemahaman tentang musibah sebagai suatu hal yang mutlak harus diterima seringkali membuat kita terlampau pasrah tanpa ada usaha untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Padahal ada wilayah dimana manusia dapat melakukan suatu usaha untuk mencegah dan mengantisipasinya. Kita tidak sepatutnya menyerah tanpa ada usaha. Bisa jadi keteledoran dan kesalahan manusia itu sendiri yang mengundang munculnya musibah.
Allah SWT. mengingatkan kita untuk untuk senantiasa mengoreksi diri dan bercermin dari kejadian masa lampau. “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Q.S. as-Syura : 30).
Koreksi terhadap apa yang telah dilakukan menjadi sangat penting. Sejauh mana kita menghindarkan diri dari tindakan yang dapat mengundang musibah dan sejauh mana pula kita melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya musibah. Melalui koreksi, kita dapat mengetahui apa sebab yang melatarbelakangi sebuah musibah. Sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dalam diri tiap orang tanpa harus mencari-cari siapa yang harus disalahkan (dianggap bertanggungjawab) atau saling menyalahkan.
Namun apabila musibah yang menimpa kita benar-benar di luar kendali usaha manusia untuk menghindarinya. Maka sikap penerimaan adalah solusi terbaik dalam menghadapinya. Kita tidak memiliki kekuatan apa pun untuk menandingi kekuasaannya. Karena kita adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Namun hendak diingat bahwa setiap musibah yang ditimpakan kepada siapa pun telah disesuaikan dengan kadar kemampuannya.“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…” (Q.S. al-Baqarah:286).
Musibah adalah bukti kasih sayang Allah kepada hamba-Nya sebagai sarana peningkatan kualitas diri. Terutama peningkatan keimanan dan ketakwaan. Mudah-mudahan musibah yang dihadapi oleh bangsa kita saat ini dapat mendorong peningkatan kualitas diri seluruh komponen bangsa menuju kemuliaan di sisi-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
saya berharap kritik dan saran anda